Saturday, October 2, 2010

Serenity in my heart (revisited ketika huja)

Saat-saat ketika hujan sedang turun senantiasa membawa kedamaian dalam hatiku. Sejak dulu, ketika awal-awal jam hidupku di mulai. Bahkan aku masih bisa mengingat dengan jelas saat-saat ketika hujan pada waktu aku masih balita yang ketika itu aku bahkan harus menaiki pintu kecil model dua buka itu melihat keluar.

Benar-benar damai hati ini saat mendengar curah hujan yang mengguyur tanah, jalan, hujan, genteng, dan atap rumah, tanpa putus-putus. Sungguh membuat nyaman. Suara geluduk, jarang-jarang terdengar dan tidak menggelegar dengan buas. Hujan selalu membawa fantasi tersediri bagiku.

Dahulu ketika masih balita dan awal-awal TK, aku biasa membuat kapal-kapalan dari kertas untuk kuhanyutkan di genangan air yang mengalir persis depan rumahku. Waktu itu masih belum ada got di depan rumah di Comal. Senang sekali kalau melihat kapal itu bergerak mengikuti alur air, meski kadang-kadang berhenti karena tersangkut batu atau ranting-ranting. Ketika menginjak SD/SMP, main-main hujan menjadi acara favorit, sambil berendam dalam got yang airnya penuh. Terus dilanjutkan main perosotan di ubin rumah kosong yang dibasahi sama air.

Menginjak SMA, saat hujan adalah saat untuk mencari tambahan uang saku dengan menjadi ojek payung di RS Darmo. Lumayan bisa dapat sepuluh ribu-an kalau beruntung. Bisa untuk makan bakso telur puyuh sore-sore yang enak dan hangat. Bahkan untuk yang ini aku masih bisa mengingat dengan jelas si mas jualan baksonya yang rambutnya agak keriting. Senang sekali kalau pas masih ada gajihnya.

Saat kuliah, waktu hujan masih sama memberikan rasa nyaman di hati yang lelah dan badan yang capai karena banyak hal dan keinginan-keinginan yang macam-macam yang pada waktu itu rasanya sangat jauh untuk digapai. Tapi meskipun demikian, hujan mampu menenangkan dan memberikan rasa menerima apapun yang sudah ada. Aku ingin itu, tapi aku (mencoba) sangat bersyukur atas apa yang ada saat itu.

Hingga kinipun, di tempat yang berbeda, yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya bahwa aku akan di sini, masih saja hujan membawa kedamaian dan rasa menerima apa yang sudah ada, meski banyak kemauan yang seringkali berlompatan di dalam otak ini. Rasanya lelah untuk mengejar kemauan yang kadang sukar untuk dimengerti polanya dan manfaatnya secara hakiki bagiku. Cukuplah sudah. Biar badan ini ringkih, fragile, tapi inilah yang kupunya. Aku akan pergunakan. Aku semakin lelah, capai terombang ambing dalam kemauan-kemauan yang tampaknya enak. Aku semakin tua, langkahku sudah tidak selebar dahulu. Aku ingin mempergunakan yang sudah ada, berjalan di jalan yang ada di peta, dan melakukan yang menjadi kewajiban utama. Sekuler memang sepertinya menyenangkan, tapi sepertinya tidak akan habis. Seperti makan camilan ceker ayam surabaya. Enak, bikin haus dan nambah lagi, tapi ga bisa berhenti.