Sedih dan putus asa, itu reaksi wajar seseorang yang ditolak lamaran
kerjanya. Namun, jangan patah arang dulu. Pelajari kegagalan itu demi
keberhasilan di lain kesempatan.
Rudy, nama samaran, tertunduk lesu. Tangannya mencengkeram sepucuk
surat dari sebuah perusahaan swasta terkenal, yang ia terima siang
itu. Isi surat yang diplomatis itu seakan sudah ia hapal di luar
kepala. "Untuk saat ini Anda belum dapat bergabung bersama kami.
Mungkin Anda dapat mencobanya lagi pada kesempatan lain ...."
Insinyur sipil lulusan perguruan tinggi terkemuka itu tak habis
heran, sedemikian sulit ia mencari pekerjaan. Padahal, ia termasuk
berotak encer. Kuliah diselesaikan kurang dari empat setengah tahun.
Indeks Prestasi Kumulatif-nya (IPK) 3,1 dalam skala empat. Nyatanya,
hampir setahun terakhir bermacam perusahaan selalu menolak
lamarannya. Awalnya, ia selalu gagal dalam tes psikologi. Setelah
mengikuti bimbingan dari berbagai biro psikologi, ia justru
tersandung pada tes-tes jenis lainnya. Kini, ia bimbang dan mudah
goyah. Celakanya, tidak ada yang mampu menjelaskan kekurangan
dirinya. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi pada Rudy?
Tidak percaya diri
Di zaman persaingan ketat seperti ini, Rudy tidak seorang diri.
Zainoel B. Biran, psikolog pada Lembaga Psikologi Terapan,
Universitas Indonesia (LPT-UI), mencoba meluruskan arti tes kerja.
Tujuan beraneka macam tes bukanlah mencari pelamar paling pintar,
melainkan yang paling sesuai dengan kemauan perusahaan, dikaitkan
dengan budaya perusahaan (corporate culture).
Pelamar yang dipilih adalah yang memiliki kepribadian yang cocok
dengan pekerjaan dan kondisi lingkungan kerja. Tenaga akuntansi
misalnya, harus betah berkutat dengan angka-angka di belakang meja.
Sedangkan seorang pemasar harus cekatan dan mampu berkomunikasi
dengan baik.
"Kalau tidak cocok, bisa dibayangkan tersiksanya bekerja dalam
kondisi yang tidak disenangi selama bertahun-tahun," kata Zainoel.
Melalui tes psikologi dapat dilihat kepribadian seseorang. Karenanya,
peserta harus mengerjakan sesuai dengan kemampuan dan pemikiran diri-
sendiri. Bila menyontek, malah merugikan.
Celakanya, lanjut Zainoel, seseorang yang tak percaya diri mudah
terpengaruh bermacam informasi tentang cara mengerjakan soal
psikotes. Hal ini sering terjadi pada pelamar yang lulusan baru
(fresh graduate). Akibatnya, hasil tes tidak mencerminkan kepribadian
pelamar, dan bisa berakibat kegagalan.
Pelamar kerja, menurut Zainoel, dapat meminta bimbingan biro-biro
psikologi untuk memahami soal. Namun, sifat bimbingan itu hanya
latihan agar terbiasa saat tes sesungguhnya. "Saat mengerjakan tes
sebenarnya, tak banyak yang bisa diingat dari latihan," ungkapnya.
Seseorang bisa berlatih diwawancarai, jika sering merasa grogi.
Terutama cara menjawab pertanyaan agar tidak terlalu pendek atau
terlalu panjang. Ingat, wawancara adalah saat pelamar "menjual" diri.
"Cepat kenali sifat pewawancara. Jika pewawancara suka to the point,
tentunya pelamar tak perlu bertele-tele," pesan psikolog yang sering
menangani masalah karier ini.
Ada baiknya peserta tes mengetahui perusahaan yang memanggilnya.
Informasi itu bisa didapat dari pelbagai media atau jika memungkinkan
berkenalan dengan yang lebih dulu bekerja.
Berdasarkan pengalaman Linawaty, Head Manager Recruitment & Career
Management pada PT Astra International Tbk. (ARC), pelamar lulusan
sekolah luar negeri biasanya sangat menguasai latar belakang
perusahaan yang memanggilnya. "Mereka mencari data dari internet,"
kata Linawaty. "Hal itu menambah kepercayaan diri dan wawasan saat
menghadapi wawancara."
Soal penampilan pun jangan diabaikan. Ada jenis pekerjaan yang
mensyaratkan cara bersikap dan berpakaian. "Kesannya memang
diskriminatif, tetapi bukankah pada kesempatan pertama seseorang
dinilai dari penampilannya?" kata Zainoel.
Perlu diketahui, ada posisi pekerjaan tertentu yang hanya menerima
pelamar yang sudah dikenal oleh lingkungan "orang dalam". Istilahnya,
koneksi. Biasanya, itu terjadi pada posisi yang berhubungan dengan
kepercayaan tinggi, seperti di bank. Tujuannya, agar bila terjadi
sesuatu, kenalan atau pemberi referensi dapat dimintai keterangan.
Berhak bertanya
Lalu, bagaimana kalau gagal dalam tes-tes itu?
Gagal dalam persaingan, menurut Zainoel, hal yang biasa. Yang
penting, seseorang mau melakukan evaluasi terhadap dirinya setiap
kali mengalami kegagalan. Pengenalan terhadap kekurangan diri-
sendiri, sangat perlu untuk menghindari kegagalan ulang.
"Sekiranya gagal pada saat tes wawancara, pelamar bisa dan berhak
bertanya kepada pewawancara, di mana letak ketidaksesuaiannya," jelas
pengajar di Universitas Indonesia ini.
Namun, bila menyangkut psikotes, tentu akan sulit mencari
penjelasannya. Sebab, hasil tes tidak dapat diputuskan saat itu juga.
Atau keterbatasan waktu pemberi tes untuk memberi evaluasi. Pada saat
seleksi calon karyawan, biasanya mereka disibukkan pemeriksaan
jawaban dan persiapan tes-tes berikutnya.
Ingat, "Seorang sarjana, tentulah pintar. Cuma ada beberapa hal yang
mesti dipersiapkan secara lebih baik. Jangan hanya karena gagal di
satu tempat, seakan sudah tidak ada harapan di tempat lain," pesan
Linawaty.
Seperti kata orang bijak, kegagalan merupakan ongkos yang harus
dibayar untuk mencapai keberhasilan
Artikel ini diambil dari majalah INTISARI Edisi
September 2003 Hal. 174, penulis T.Tjahjo Widyasmoro & Dhanarto)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment