Tuesday, August 19, 2008

Obligasi 2009 Prospektif

INILAH.COM, Jakarta – Pasar obligasi 2009 diprediksi masih prospektif. Dua hal jadi pemicu. Pertama, menariknya imbal hasil sehingga mendongkrak minat investor. Kedua, tingginya kebutuhan pemerintah untuk membayar utang.
Pengamat ekonomi Aviliani dari Indxef mengungkapkan, penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) masih jadi andalan pemerintah untuk mengurangi utang dalam negeri.
Hal ini dikatakan Aviliani menanggapi pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang RAPBN 2009. SBY menyampaikan bahwa pemerintah mentargetkan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2009 akan turun jadi 30% dari 36% pada 2008.
"Saya pikir penurunan rasio utang itu realistis. Sebab, jika penurunan rasio utang luar negeri justru diikuti kenaikan jumlah utang dalam negeri, itu membahayakan APBN," kata Aviliani kepada INILAH.COM.
Menurut Aviliani, penurunan rasio utang luar negeri bisa mengurangi risiko pelemahan nilai tukar yang berpotensi menghancurkan perekonomian nasional. Ketergantungan pada utang luar negeri terbukti telah menghancurkan ekonomi pada 1998.
"Ketika itu, utang luar negeri jatuh tempo, sementara nilai ekspor Indonesia tidak bisa mengkover nilai pembayaran sehingga nilai tukar rupiah melemah dan ekonomi negara kita jebol," jelas Aviliani.
Di hadapan DPR-RI, Jumat (15/8), SBY mengatakan bahwa dalam RAPBN 2009 ada defisit anggaran Rp 99,6 triliun (1,9% PDB). Defisit itu akan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri Rp 110,7 triliun dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun.
Itu, artinya, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang dilakukan pemerintah lebih besar dari jumlah utang luar negeri baru. Hal itu sesuai tujuan mengurangi porsi utang luar negeri dalam pembiayaan defisit.
Tahun ini, pembayaran utang luar negeri mencapai Rp 70 triliun dengan tambahan utang baru hanya Rp 30 triliun. Jadi, outflow utang luar negeri mencapai Rp 40 triliun.
Sumber pembiayaan anggaran dari dalam negeri terutama dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), termasuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Ini dilakukan untuk menegaskan komitmen pengembangan surat berharga berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dan menciptakan alternatif surat berharga negara yang lebih variatif.
SUN yang diterbitkan itu akan dijual ke market. Nantinya bisa dibeli para investor dalam negeri dan luar negeri. Adapun hutang dalam negeri yang berbentuk obligasi bisa dibeli masyarakat umum mengingat nominalnya ada yang berbentuk ritel Rp2 juta.
Dirjen Pengelolaan Utang Negara Depkeu Rahmat Waluyanto juga optimistis penerbitan SUN pada 2009 diminati banyak investor. Prospek pasar obligasi tahun depan diperkirakan lebih baik dari tahun ini karena banyak adjustment pada 2008.
"Permintaan saat ini sangat tinggi dibandingkan tahun lalu. Tahun depan mungkin lebih baik karena instrumen yang diterbitkan lebih beragam. Selain yield lebih bagus, dari sisi market pun lebih bullish," ungkap Rahmat, Minggu (17/8).
Membaiknya pasar obligasi ditunjang variasi instrumen baru, yakni Surat Berharga Negara Syariah (sukuk) dan jenis lainnya. Juga karena total net penerbitan SUNlebih kecil dibandingkan tahun ini.
"Apalagi dengan adjustment yang dilakukan pemerintah AS. Kni hasilnya mulai kelihatan dan sudah banyak financial institution yang menghapusbukukan utang," jelas Rahmat.
Kendati demikian, Rahmat mengaku pihaknya mengaku belum menentukan target indikatif bagi dua jenis SBN, yaitu Surat Berharga Negara Syariah (SBSN) dan SUN. Total penerbitan keduanya Rp112 triliun. Depkeu juga belum menentukan alokasi penggunaan SBN bagi penambal defisit RAPBN 2009.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu mengakui pembengkakan defisit hingga 1,9% pada RAPBN 2009 menambah beban surat berharga negara (SBN). Pasalnya, pemerintah masih akan mengandalkan pinjaman dalam negeri untuk menambal kekurangan selisih belanja dan pendapatan negara.
Pemerintah pusat juga berencana membagi beban itu kepada pemerintah daerah melalui DAU. Soal kepastiannya, Depkeu akan berkonsultasi lebih dahulu dengan DPR. [I3]
18/08/2008 16:01

No comments:

Post a Comment