Monday, October 27, 2008

Dahlan Iskan : Kapan Harga BBM Harus Turun (1)

SUDAH pasti harga bahan bakar minyak (BBM) harus turun. Persoalannya tinggal kapan waktu yang terbaik.

Tapi, ada yang lebih mendasar dari itu. Bisakah mementum BBM ini dimanfaatkan ''untuk nyalip di tikungan" dalam krisis global ini. Yakni, untuk meletakkan dasar-dasar yang kukuh dalam penentuan harga BBM yang lebih rasional. Seumur hidup kita belum pernah bisa mengatasi masalah keruwetan BBM. Selalu saja soal BBM jadi isu sensitif multidimensi yang sering membuat instabilitas nasional.

Untuk menata keruwetan BBM, kita belum pernah mendapatkan momentum sebagus dan sehebat sekarang ini. Maka, momentum yang langka ini harus bisa dimanfaatkan secara jitu. Kinilah saatnya kita membuat fondasi yang kukuh di bidang yang amat peka dalam sejarah politik Indonesia. Tapi, kalau momentum ini terlewatkan begitu saja, kesempatan ini akan lewat begitu saja.

Harga BBM sudah terbukti sarat dengan isu politik dan stabilitas. Padahal, sudah terbukti stabilitaslah yang menjadi kunci kemajuan bangsa yang langgeng. Setiap kali ada kenaikan harga BBM, dampak yang terbesar bukan akibat selisih kenaikannya itu sendiri, tapi ekses ketidakstabilannya.

Momentum yang saya maksud itu adalah: inilah untuk yang pertama harga BBM tidak perlu disubsidi. Bisakah momentum ini dipakai untuk menghapuskan sistem subsidi BBM selama-lamanya? Kini saatnya pemerintah melepaskan diri untuk jadi penentu harga BBM. Ini demi kestabilan pemerintah untuk jangka yang panjang. Juga sebagai salah satu rintisan terbentuknya pemerintah yang efektif yang kita cita-citakan bersama. Terutama setelah terbukti kita memerlukan pemerintah yang lebih efektif dari sekarang, meski juga jangan kembali ke sistem Orde Baru. Terlalu banyak energi dan risiko yang dipertaruhkan di bidang BBM ini.

Lalu, siapa yang sebaiknya menentukan harga BBM? Mekanisme pasar bebaskah? Artinya, masyarakat dibiasakan saja membeli BBM seperti membeli lombok. Tiap hari bisa saja harganya tidak sama. Disesuaikan dengan naik turunnya harga BBM di pasar bebas. Toh negara-negara maju juga sudah lama melakukan sistem ini. Kalau tidak mau dengan cara ini, bisa saja harga BBM ditentukan oleh satu komisi independen yang dibentuk DPR. Atau oleh siapa pun yang bisa fair, yang intinya jangan lagi soal BBM mengganggu stabilitas politik nasional. Kinilah saatnya kita membuat sejarah baru di bidang BBM.

Sementara menunggu konsep itu, sebaiknya harga BBM diturunkan sedikit saja dulu. Pertama, menunggu apakah turunnya harga minyak mentah dunia ini sudah stabil. Tidak lagi turun-naik secara drastis. Kedua -dan ini yang lebih penting- tunggu dulu apakah negara kita ini sudah benar-benar akan selamat dari krisis sekarang ini. Setiap negara kini sedang mencari jalan sendiri-sendiri untuk menyelamatkan diri. Indonesia tentu tidak boleh kalah cerdik. Begitu kalah cerdik, kita akan ambruk.

Sekarang ini sudah tiga negara yang ambruk. Mula-mula Islandia, sebuah negara Barat yang belum lama dipuja sebagai negara maju dengan sistem pengelolaan energi panas bumi yang terbaik. Islandia ini bulan lalu seperti pengemis yang keleleran. Minta-minta pinjaman ke berbagai negara maju, tapi tidak ada yang berbelas kasihan. Mengapa?

Sebabnya ya itu tadi: semua negara sekarang ini sedang menyelamatkan diri masing-masing. Sampai-sampai Perdana Menteri Islandia Geir Haarde mengeluh, ''Ternyata dalam keadaan susah, kami ini tidak punya teman baik." Dia menyindir habis-habisan AS, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya sebagai sekutu yang tidak punya solidaritas.

Apa yang kemudian dilakukan Islandia? Pergi ke Rusia! ''Bagaimana lagi?" ujar perdana menteri Islandia. ''Tidak ada jalan lain. Sahabat sendiri tidak membantu." Langkah ini sebenarnya bisa menampar muka negara-negara Barat, tapi toh tidak ada negara yang merasa tertampar. Dalam keadaan seperti ini, harga diri dan solidaritas tidak masuk dalam pertimbangan lagi.

Di Rusia, dia hanya ingin cari pinjaman USD 5 miliar. Setelah berunding bolak-balik, pinjaman tidak bisa cair juga. Gagal. Mengapa? Rusia sendiri harus cari selamat. Sehari sebelum kita menutup pasar modal, Rusia sudah melakukan lebih dulu. Bahkan, ketika kita sudah membuka kembali pasar modal, Rusia masih terus menutup, entah sampai kapan.

Akhirnya, Islandia menyerah ke IMF. Tapi, juga belum dapat jalan keluar yang terbaik.

Lalu, Ukraina. Negara yang semula amat percaya diri bisa sejajar dengan negara Barat ini harus ambruk juga. Ukraina yang begitu pisah dari Rusia langsung bergabung ke persekongkolan negara Barat tidak juga dapat jalan keluar dari sahabat barunya.

Negara ketiga yang menyerah ke IMF adalah Pakistan.

Kita masih belum tahu negara mana lagi yang akan menyusul. Korea Selatan, negara yang paling cepat sembuh setelah krisis moneter tahun 1997, kini sangat parah. Mata uangnya, won, jatuh sampai 30 persen. Keruwetan politiknya, gara-gara di antara 16 menteri kabinet hanya tiga yang Buddha (selebihnya Kristen), juga meningkat.

Satu per satu, negara yang tidak siap akan menyusul seperti Islandia. Kita, alhamdulillah, baru terkena sedikit. Tapi, harga kelapa sawit kita sudah tinggal USD 500 per ton. Harga seperempat dibanding sebulan lalu ini sudah di bawah biaya produksi. Perkebunan besar, yang tahun lalu pesta, kini menangis. Ratusan ribu petani yang punya kebun kecil-kecil (1-2 ha) sudah tidak mau lagi memanen kelapa sawitnya.

Harga kakau turun drastis pula, sedrastis kelapa sawit. Pekan lalu saya ke beberapa provinsi di Indonesia Timur melihat harga kopra juga tinggal sepertiganya. Kita masih belum tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang.

Meski para politisi terlalu sulit untuk bisa ikut merasakan semua ini, yang penting jangan membuat beban tambahan. Karena itu, soal harga BBM jangan dibawa ke politik. BBM memang harus turun, tapi memanfaatkan momentum harga BBM ini bagi perkuatan negara jauh lebih penting.

Saya sangat khawatir gelombang permintaan penurunan harga BBM akan menjadi isu politik yang hanya akan membuat Indonesia menyusul Islandia. Kita tidak ingin jadi pasien IMF sekali lagi. Kita sudah kapok dengan peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Konsentrasi mencegah datangnya krisis yang lebih besar jauh lebih penting.

Sekarang ini pemerintah tentu lagi konsentrasi penuh mengurus krisis ini. Tim ekonomi (termasuk Bapepam, BEJ) sudah satu bulan penuh kurang tidur. Saya bisa membayangkan bagaimana Menteri Keuangan Sri Mulyani sampai tidak bisa mengunjungi ibunya yang keadaannya kritis. Bahkan, ketika besoknya sedang memimpin rapat untuk mencari cara menyelamatkan uang para penabung di bank, tiba-tiba dia mendapatkan SMS bahwa ibunya meninggal dunia. Dia menangis karena tidak bisa mendampingi ibunya di saat-saat terakhirnya.

Dalam keadaan berduka seperti itu, rapat juga tidak bisa ditunda. Kalau rapat tidak membuat keputusan, bisa-bisa keesokan harinya bank-bank rontok seperti sepuluh tahun lalu. Dia masih bisa membuat keputusan untuk menjamin semua nasabah bank. Bukan Rp 1 miliar seperti yang diusulkan masyarakat, tapi sampai Rp 2 miliar.

Sampai setelah itu pun, dia masih belum bisa berangkat ke bandara untuk terbang ke Semarang di mana jenazah ibunya sudah menunggunya. Dia masih harus memimpin rapat yang satu lagi untuk menyelamatkan pasar modal. Dia putuskan agar pasar modal dibuka kembali hari Senin dengan taruhan besar. Akibat keputusannya itu begitu kritis: selamat atau hancur. Pilihan begitu sulit. Sampai-sampai dia berpesan kepada pengelola pasar modal agar sebelum membuka transaksi hari Senin itu, mereka lebih dulu mengucapkan tiga kalimat yang bukan dari buku teks ekonomi. Bahkan, kalimat itu harus diucapkan masing-masing tiga kali: Lailahaillallah, Allahu Akbar, dan Bismillah. Barulah dia berangkat ke Semarang. Itu pun harus segera kembali ke Jakarta ''menjaga" keadaan yang gawat.

Tapi, dia tidak mau dipuji. ''Pujilah DPR, khususnya Komisi XI DPR," katanya kepada saya. Dia sangat bangga bahwa kali ini DPR sangat mengerti situasi. ''Semula saya sangat khawatir. Kita ini mestinya lebih rawan daripada negara lain," ujarnya.

Mengapa? ''Pertama, kita ini negara berkembang yang belum kuat seperti negara maju. Kalau negara maju saja rontok, bagaimana kita?" katanya.

''Kedua, kita ini negara demokrasi yang tentu tidak gampang mengambil keputusan," tambahnya. ''Ketiga, sekarang ini sudah dekat pemilu. Tentu bisa-bisa dimanfaatkan untuk isu politik. Gabungan tiga hal itu sudah memenuhi syarat untuk membuat Indonesia hancur. Ternyata masih selamat. Kami bangga dengan sikap Komisi XI DPR," ujarnya.

Tapi, melihat krisis di luar negeri yang terus mewabah seperti wereng, kita belum bisa aman. Yang harus dipikirkan sekarang bukan menurunkan harga BBM, tapi bagaimana menyiapkan skenario terjelek. Yakni menolong orang miskin dalam keadaan sulit nanti. Dana yang sangat besar diperlukan agar bisa mendistribusikan uang ke lapisan paling bawah rakyat kita. Bukan sebulan dua bulan, tapi selama dua tahun.

Yang penting harus transparan. Yang perlu disiapkan bukan saja dana, tapi juga cara penyalurannya. Mumpung masih ada waktu memikirkannya. Yang penting jangan lewat departemen pemerintah. Bisa dalam bentuk bantuan yang bisa langsung sampai ke orang di bawah atau untuk penjaminan kredit usaha mikro dalam jumlah yang besarnya belum pernah terjadi dalam sejarah kita. Menurunkan harga BBM memang perlu, tapi sewajarnya saja. Menyiapkan skenario krisis terburuk harus jadi perhatian utama. (*)

[ Senin, 27 Oktober 2008 ] jawapos.co.id

No comments:

Post a Comment