29 Jun 2007
Akses air bersih baru dimiliki 40 persen warga kelas menengah di perkotaan
Air merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Mengkonsumsi air layak minum merupakan syarat mutlak seorang manusia bisa melanjutkan hidup. Tapi, pernahkah terpikirkan bahwa kita akan kesulitan bisa mendapatkan air bersih dan air layak minum? Air bersih dan air layak minum merupakan dua hal yang berbeda. Tidak semua air bersih layak untuk diminum. Tapi, air yang layak minum bisa dipastikan merupakan air bersih. Mendapatkan air bersih di kota besar bukan hal mudah. Sebagian besar sumber air telah terkontaminasi bakteri. Sedangkan, masyarakat miskin hanya mampu menggunakan air sungai yang kotor dan berbau. Buruknya kondisi air di kota besar dibuktikan dari hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pada 2004. Aktivis Walhi, Dinar Rani Setiawan, menyebut pemantauan terhadap 48 sumur di Jakarta menunjukkan, hampir sebagian besar telah mengandung bakteri coliform dan fecal coli. Persentase sumur yang telah melebihi baku mutu untuk parameter Coliform di seluruh Jakarta cukup tinggi, yaitu 63 persen pada bulan Juni dan 67 persen pada bulan Oktober. Selain bakteri Coliform, kandungan besi (Fe) di sejumlah sumur (27 persen) juga melebihi baku mutu. Pada Oktober persentasenya naik lagi jadi 33 persen. Untuk parameter detergen (MBAS), persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu di DKI Jakarta sebesar 29 persen, pada Juni dan meningkat menjadi 46 persen pada Oktober 2004. Selain itu, berdasar laporan perkembangan pencapaian MDG Indonesia, pada Februari 2004, disebutkan, hampir 80 persen masyarakat Indonesia menggunakan sumber air yang kemungkinan besar telah terkontaminasi oleh bakteri. Hal ini disebabkan lokasi sumber air tidak memperhitungkan jarak dari tempat pembuangan tinja. Sejauh ini, ada pandangan bahwa air perpipaan dianggap masih belum terlalu parah terkontaminasi. Sayangnya, hanya sekitar 40 persen rumah tangga yang mendapat suplai dari PDAM. Ini pun didominasi masyarakat kelas menengah ke atas, serta tinggal di wilayah perkotaan. Di daerah pedesaan, PDAM hanya melayani sekitar 10 persen saja. Padahal, kualitas air PDAM juga belum memenuhi standar kualitas air minum. Jaringan perpipaan yang kurang baik mengakibatkan air PDAM juga telah terkontaminasi bakteri dan kotoran. Menurunnya kualitas air tanah di perkotaan tidak lepas dari belum baiknya aspek sanitasi. Laporan perkembangan pencapaian MDG Indonesia, pada Februari 2004, menyebutkan akses ke fasilitas sanitasi dasar yang dimiliki masyarakat Indonesia hanya 64 persen. Data inipun tidak mengindikasikan kepemilikan, melainkan hanya menggambarkan penggunaan fasilitas umum maupun pribadi. Selain itu, data tidak menjelaskan kondisi fasilitas sanitasi. Apa masih dalam kondisi baik atau buruk. Sebagian besar fasilitas sanitasi belum dilengkapi pengolahan yang memadai, untuk mencegah tercemarnya air tanah. Semestinya sanitasi tidak sekedar sarana melepas hajat. Fasilitas sanitasi yang baik dan aman harus melibatkan upaya drainase, pengumpulan tinja, maupun pembuangan dan pengelolaan dengan teknis tertentu. Menurut Walhi, pada 2004, hanya 400 dari sekitar 4 ribu industri di Jakarta yang mengelola limbahnya. Selain itu, tidak ada sistem sanitasi di Jakarta, yang membuat air limbah seluruhnya dibuang ke sungai. Hanya sekitar 2 persen air limbah di Jakarta mengalir ke instalasi pengolah air limbah, yang umumnya hanya melayani gedung perkantoran dan sejumlah perumahan. Sekitar 39 persen warga Jakarta memiliki septic tank, dan 20 persen menggunakan lubang WC biasa (pit latrines). Investasi pemerintah dalah hal sanitasi juga minim. Catatan World Bank, Water and Sanitation Program menyebutkan, hingga 2006, investasi yang diberikan pemerintah hanya Rp 200 /orang/tahun. Padahal jika investasi untuk infrastruktur sanitasi sebesar Rp 51.254/orang/tahun, diperkirakan akan mengurangi biaya kesehatan antar 6-19 persen. Termasuk biaya pengobatan sebesar 2-5 persen. Kondisi air dan sanitasi yang buruk, berdasar pengukuran Disability Adjusted Life Years (DALY), menyumbang 5,7 persen dari total beban penyakit. Diare yang disebabkan buruknya kndisi air dan sanitasi, menjadi penyebab kematian yang cukup besar. Catatan WHO 2001, menyebut kematian di seluruh dunia mencapai 2,1 juta. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya adalah anak-anak. Dengan adanya gejala pemanasan global, krisis air sehat kemungkinan akan bertambah parah. Tidak sekadar kualitas air yang sudah tercemar bakteri dan kotoran, kemarau panjang diperkirakan akan mengancam sejumlah wilayah Indonesia. Laporan kelompok kerja II dibawah IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyebutkan Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan selatan. Artinya wilayah Jawa, Sumatra, diperkirakan akan mengalami musim kemarau yang panjang. Dengan kondisi saat ini, perlu dicarikan solusi terbaik agar kualitas air tetap bisa terjaga dengan baik. Kesadaran akan makin minimnya air sehat selayaknya menjadi perhatian semua pihak. Langkah yang dibutuhkan sekarang bukan lagi kampanye tapi harus ada kebijakan yang sungguh-sungguh soal pengelolaan air, limbah, dan sanitasi. dwo/berbagai sumber Fakta Angka Rp 51.254 biaya investasi infrastruktur sanitasi per orang per tahun. ( )
Sumber: depkes.go.id
Wednesday, October 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment